Metode Penelitian Hadist

Penjelasan metode penelitian hadist


Metode Penelitian Hadis – Penjelasan atas maksud dari al Qur’an diberikan oleh nabi Muhammad dalam berbagai cara. Ia dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan ataupun taqrir dan ini yang disebut dengan hadis. Dalam hadis itulah kaum muslimin menemukan berbagai fakta historis mengenai bagaimana ajaran-ajaran islam yang diwahyukan oleh Allah dan diterjemahkan ke dalam kehidupan nyata oleh nabi Muhammad SAW.

Al Qur’an berbicara tentang prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang sifatnya universal, sementara hadis menafsirkan ayat-ayat tersebut sehingga lebih jelas dan operasional. Bahkan hadis dapat berdiri sendiri dalam pembentukan hukum ketika al Qur’an sama sekali tidak memberikan keterangan tentang hukum tersebut.

Redaksi al Qur’an sudah tidak diragukan lagi. Al Qur’an langsung dari Allah dan nabi Muhammad langsung meminta para sahabat untuk menuliskannya setiap kali ayat itu turun dan pencatatan al Qur’an merupakan pekerjaan yang tidak pernah dirahasiakan serta menjadi aktivitas publik. Sedangkan hadis baru didokumentasikan setelah dua generasi, sehingga sumber pertama setelah Nabi yaitu para sahabat, hampir tidak ditemukan lagi.

Penulisan hadis juga hanya menjadi pekerjaan sebagian kecil sahabat saja. Bahkan suatu saat Nabi pernah melarang menulis apa saja yang datang dari beliau selain al Qur’an. Hal ini disebabkan karena beliau khawatir dengan penulisan itu akan mengacaukan ayat-ayat al Qur’an, dan karena umat islam belum menguasai benar kefasihan dan keindahan bahasa al Qur’an. Setelah selang beberapa waktu, setelah mereka mendarah daging dengan al Qur’an dan kebuta hurufan mereka berkurang, maka Rasulullah mempertimbangkan dalam waktu yang tepat, beliau mengijinkan penulisan teks-teks non-al Qur’an.

Namun terdapat ulama yang mengungkapkan alasan yang lain tentang larangan menulis hadis ini sebagaimana ditulis oleh GHA Juynboll dan diterjemahkan oleh Ilyas Hasan dalam buku Kontroversi Hadis di Mesir, yakni bahwa larangan tersebut hanya berlaku untuk orang yang berkeinginan melestarikan tulisan itu untuk selamanya, jika ingin menulis hadis dan menjaganya secara temporer agar dapat dihafal dengan baik, maka penulisan ini diperbolehkan dengan syarat catatan tersebut harus dihapus setelah dihafal.

Dari adanya permasalahan tersebut di atas, maka muncullah berbagai macam kritik atas hadis dengan hadirnya metodologi kritik hadis atau metodologi penelitian hadis. Dalam ilmu hadis, penelitian ini lebih difokuskan kepada unsur pokok hadis yaitu sanad, matan dan rawi.

Metode Penelitian Hadis

Pengertian Metode Penelitian Hadis

Metode berarti cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

Kata penelitian yang berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama, hati-hati, memiliki arti kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum. Sedangkan Moh. Nazir mengungkapkan bahwa penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris research. Penelitian merupakan suatu metode untuk menemukan kebenaran, sehingga penelitian juga merupakan metode berpikir kritis.

Sehingga metode penelitian hadis dapat diartikan sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap hadis sebagai sumber hukum islam untuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadis dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadis tersebut.

Nabi Muhammad sebagai figur sentral dalam hadis dan sebagai nabi akhir zaman, secara otomatis ajaran-ajaran beliau berlaku bagi keseluruhan umat dari berbagai tempat. Sementara hadis itu sendiri turun pada kisaran kehidupan Nabi. Di samping itu, tidak semua hadis memiliki asbab al wurud, yang menyebabkan hadis bersifat umum atau khusus. Keberadaan Nabi dalam berbagai posisi dan fungsinya, yang terkadang sebagai manusia biasa, sebagai pribadi, suami, kepala Negara dan lain sebagainya menjadi acuan bahwa untuk memahami hadis perlu dikaitkan dengan posisi Rasulullah pada saat itu. Oleh karenanya, penting sekali untuk mendudukkan pemahaman hadis pada tempatnya yang proporsional, kapan dipahami secara tekstual, kontekstual, universal, temporal, situasional maupun lokal.

Terdapat beberapa faktor yang menjadikan penelitian hadis berkedudukan sangat penting. Menurut Syuhudi Ismail faktor-faktor tersebut adalah:

a. Hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran islam. Kita harus memberikan perhatian yang khusus karena hadis merupakan dasar hukum kedua setelah al Qur’an dan kita harus meyakininya.

b. Tidaklah seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi. Nabi pernah melarang sahabat untuk menulis hadis, tetapi dalam perjalanannya ternyata sangat dibutuhkan untuk membukukan hadis.

c. Telah timbul berbagai masalah pemalsuan hadis.

d. Proses penghimpunan hadis memakan waktu yang cukup lama, karena itu dibutuhkan penelitian hadis sebagai upaya kewaspadaan dari adanya hadis yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

e. Jumlah kitab hadis yang banyak dengan model penyusunan yang beragam.

f. Telah terjadi periwayatan hadis secara makna, hal ini dikhawatirkan adanya keterputusan sumber informasinya.

Sejarah Munculnya Penelitian Hadis

Secara historis, sesungguhnya penelitian hadis dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Pada masa ini masih dalam bentuk konfirmasi, yakni para sahabat yang tidak secara langsung mendengar dari beliau, tetapi dari sahabat lain yang mendengarkannya. Mereka kemudian pergi menemui Rasulullah apakah sesuatu benar-benar dikatakan oleh beliau. Dengan demikian, para sahabat dapat secara langsung mengetahui valid dan tidaknya hadis yang mereka terima.

Praktik penelitian hadis dengan pola konfirmasi tersebut berhenti dengan wafatnya Rasulullah. Namun bukan berarti kritik atau penelitian hadis telah kehilangan urgensinya. Pada periode selanjutnya, penelitian hadis lebih bersifat komparatif, yakni tidak hanya mengandalkan kekuatan hafalan belaka namun juga dilakukan perbandingan pada data tertulis yang ada.

Pada masa selanjutnya, yakni permulaan abad kedua Hijriyah, timbul pemikiran khalifah Umar bin Abdul Aziz al Amawi untuk meneliti hadis dan mengumpulkannya. Untuk itu, khalifah menyurati amil atau gubernurnya dan meminta mereka untuk meneliti dan mengumpulkan hadis karena khawatir akan perkembangan ilmu-ilmu keagamaan serta ulama-ulama habis meninggal dunia. Sehingga para perawi hadis mulai menyusun hadis-hadis yang diriwayatkan menurut babnya dan membukukannya. Pembukuan yang terjadi sekitar tahun 145 H ini masih bercampur dengan ucapan-ucapan sahabat dan tabi’in.

Dalam periode selanjutnya timbullah usaha untuk membersihkan hadis-hadis Nabi sehingga tidak bercampur dengan ucapan-ucapan sahabat dan tabi’in. Kitab yang tersusun terkenal dengan nama musnad, diantaranya yang sampai kepada kita adalah Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Kitab tersebut disebut musnad karena didalamnya dikumpulkan menurut sanadnya, tanpa menghiraukan persoalan yang diterangkan dalam hadis tersebut. Misalnya dikumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakar, Umar, ‘Aisyah dan lain-lain.

Kemudian diteruskan dengan periode penyaringan, artinya meneliti mana hadis yang sahih dan mana pula yang dha’if . Orang yang berdiri di barisan paling depan dalam usaha ini adalah Imam Bukhari dengan kitab hadisnya Sahih Bukhari dan Imam Muslim dengan kitab hadisnya Sahih Muslim. Keduanya menjadi pedoman dan pandangan yang kemudian diikuti oleh Abu Daud dengan kitab Sunan Abu Daud, Ibnu Majah dengan kitab Sunan Ibnu Majah, Al Tirmizi dengan kitab Sunan al Tirmizi, Al Nasa’I dengan kitab Sunan al Nasa’i. Kitab-kitab mereka ini dikenal dengan Kutub al Sittah dan bersama dengan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal terkenal dengan Kutub al Sab’ah. Tetapi masih banyak lagi ulama lain yang meneliti dan menghasilkan kitab hadis meskipun tidak mencapai derajat yang tinggi di kalangan umat islam.

Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah otentisitas hadis secara historis dan ilmiah dapat dibuktikan serta bagaimana cara yang harus ditempuh. Sehingga kemudian para ahli hadis tertantang untuk menciptakan ilmu penelitian atau kritik hadis, baik kritik ekstern (al naqd al khariji) yang menyangkut sanad hadis, maupun intern (al naqd al dakhili) yang menyangkut matan hadis.

Obyek Penelitian Hadis

Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa obyek penelitian hadis meliputi tiga hal sebagai berikut:

1. Rawi Hadis

Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya). Seringkali sebuah hadis diriwayatkan oleh bukan hanya satu rawi, akan tetapi oleh banyak rawi. Kritik terhadap periwayatan hadis biasanya mempersoalkan baik dari segi kualitas pribadi atau kelurusan moral (‘adalah) maupun kapasitas intelektualnya (dhabit).

a. Periwayatan dikategorikan memenuhi segi kualitas pribadi bila telah memenuhi syarat berikut:

  • beragama islam 
  • mukallaf 
  • melaksanakan ketentuan agama islam 
  • memelihara muru’ah, yang sejalan dengan patokan norma tentang orang jujur yang dapat diterima pemberitaannya. 

Sedang pemenuhan segi kapasitas intelektual adalah:

  • hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya 
  • mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain 
  • mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya 

2. Sanad Hadis

Adapun sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadis atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadis. Dalam hubungan ini dikenal istilah musnid, musnad dan isnad. Musnid adalah orang yang menerangkan hadis dengan menyebutkan sanadnya. Musnad adalah hadis yang seluruh sanadnya disebutkan sampai kepada Nabi SAW (pengertian ini berbeda dengan kitab musnad). Sedangkan isnad adalah keterangan atau penjelasan mengenai sanad hadis atau keterangan mengenai jalan sandaran suatu hadis.

Selain itu juga terdapat istilah sigat al isnad, yaitu lafal yang terdapat dalam sanad yang digunakan oleh rawi yang menunjukkan tingkat penerimaan dan penyampaian hadis dari rawi tersebut. Ada delapan sigat al isnad sesuai dengan tingkatannya:

  • al sima’ min lafz al sheikh (mendengar dari lafal syekh), contoh: sami’tu (aku mendengar) 
  • qira’at ‘ala al sheikh (membaca tulisan syekh), contoh: qara’tu ‘ala (aku membaca)
    • al ijazat, contoh: ajaztu laka Sahih al Bukhari (aku ijinkan untukmu kitab Sahih al Bukhari) 
    • al munawalah, contohnya “hadis ini saya terima dari si fulan, maka riwayatkanlah atas namaku” 
    • al mukatabah (tulisan), contoh: “si fulan telah menceritakan padaku secara tertulis” 
    • al I’lan (pemberiahuan), contoh: “saya telah meriwayatkan hadis ini dari si fulan, maka riwayatkanlah daripadaku” 
    • al wasiyat, yakni guru mewasiatkan suatu hadis menjelang ia pergi jauh atau merasa ajalnya sudah dekat. 
    • al-wijadah, yakni rawi memperoleh hadis yang ditulis oleh seorang guru, tetapi tidak dengan jalan sima’i atau ijazah, baik semasa atau tidak, baik berjumpa atau tidak. 

3. Matan Hadis

Menurut bahasa, matan artinya sesuatu yang tampak, bagian bumi yang keras dan tinggi. Dalam istilah ilmu hadis, matan adalah materi atau redaksi hadis yang diriwayatkan dari satu orang ke orang lain.

Ditinjau dari cara dalam menyampaikan hadis, terdapat beberapa matan hadis, yaitu:

  • Yang lafal atau setiap katanya persis atau sama dengan lafal pada matan hadis yang lain 
  • Yang antara satu matan hadis dan lainnya hanya terdapat persamaan makna, isi atau tema, sedangkan lafalnya berbeda 
  • Yang antara satu matan hadis dan lainnya saling bertentangan (berbeda), baik lafal maupun maknanya. Keadaan inilah, antara lain, yang menjadi obyek penelitian para ahli guna memperoleh hadis yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan untuk dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW. 

Dalam hadis sahih, dari segi matan disyaratkan dua hal, yakni:

a. Tidak ada shaz (bertentangan), artinya isi hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis lain dari orang yang terpercaya.

b. Tidak ada cacat (‘illat), artinya hadis tersebut tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab tersembunyi yang dapat mengurangi kesahihan hadis.

Metode Penelitian Hadis

Untuk menuju pada penlitian hadis dengan obyek kajian di atas, terdapat beberapa metode yang digunakan sebagai berikut:

1. Metode Komparatif

Metode komparatif atau metode perbandingan atau pertanyaan silang atau silang rujuk(cross reference), dilakukan dengan mengumpulkan semua bahan yang berkaitan, atau katakanlah, semua hadis yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama lain, orang menilai keakuratan para ulama. Menurut Ibn al Mubarak (118-181 H), sebagaimana dikutip Muhammad Mustafa Azami berkata:

”Untuk mencapai pernyataan yang otentik, orang perlu membandingkan kata-kata para ulama satu dengan yang lain”

Metode perbandingan dipraktikkan dengan banyak cara. Berikut ini adalah sebagian dari cara-cara tersebut:

a. Memperbandingkan hadis-hadis dari berbagai murid seorang shaikh (guru) b. Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan c. Memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis d. Memperbandingkan hadis-hadis dengan ayat al Qur’an yang berkaitan.

2. Metode Rasional

Metode rasional merupakan metode yang menggunakan penalaran. Nalar diterapkan dalam kritik hadis pada setiap tahapan, yakni dalam pengkajian hadis, pengajaran hadis, dalam menilai para perawi, dan dalam menilai keotentikan hadis. Tetapi secara ketat, terdapat batas-batas tertentu di sini dalam penggunaan penalaran. Kemampuan penalaran hanya sedikit membantu dalam menerima atau menolak hadis dari Nabi.

Sebagai contoh, dalam kitab-kitab hadis kita menemukan bahwa Nabi biasa tidur degan berbaring pada lambung kanan beliau, dan sebelum pergi tidur beliau biasa membaca do’a-doa tertentu. Sesudah bangun, beliau juga membaca do’a tertentu. Beliau biasa minum dengan tiga kali nafas dan menggunakan tangan kanannya dalam memegang cangkir dan sebagainya. Secara rasional, orang bisa saja tidur dengan terlentang, berbaring pada lambung kanan atau lambung kirinya. Semua posisi tidur adalah mungkin. Kita tidak bisa mengatakan bahwa posisi tertentu mungki dan posisi lain tidak.

Dalam kasus ini akal tidak bisa membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran. Kebenaran hanya bisa diputuskan melalui saksi-saksi dan perawi-perawi yang terpercaya. Dengan demikian, penalaran sendiri membawa kita untuk menerima pernyataan dari perawi-perawi yang jujur dan terpercaya, kecuali dalam kasus-kasus dimana kita menemukan bahwa kejadian yang bersangkutan bertentangan dengan akal (penalaran).

Hikmah Penelitian Hadis

Hikmah adanya penelitian hadis diantaranya ialah:

  • Menambah keyakinan umat islam terhadap keautentikan hadis Nabi 
  • Menjaga keautentikan hadis Nabi 
  • Menunjukkan kehati-hatian umat islam terhadap sumber berita demi menemukan kebenaran. 
  • Sebagai pembelajaran bahwa setiap sumber informasi yang disampaikan oleh umat islam harus dapat dipertanggung jawabkan 
  • Mengasah nalar kritis umat islam. 

Kesimpulan

a. Metode penelitian hadis dapat diartikan sebagai cara mencari kebenaran dengan analisis data yang dilakukan secara sistematis dan objektif terhadap hadis sebagai sumber hukum islam untuk membuktikan keautentikannya. Sehingga kita dapat memahami hadis dengan mudah serta dapat menilai kualitas hadis tersebut.

b. Sejarah munculnya penelitian atau kritik terhadap hadis sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Nabi masih hidup dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Namun hasil penelitian yang paling banyak mendapat pengakuan oleh mayoritas kaum muslim adalah Kutub al Sittah.

c. Obyek penelitian hadis meliputi rawi, sanad dan matan. Untuk menemuka hadis yang berkualitas, maka hadis tersebut harus memenuhi syarat dari ketiganya secara menyeluruh.

d. Metode penelitian hadis yang digunakan meliputi metode komparatif yang dilakukan dengan mengumpulkan semua bahan yang berkaitan, atau katakanlah, semua hadis yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama lain, orang menilai keakuratan para ulama. Serta metode rasional yang merupakan metode yang menggunakan penalaran.

e. Hikmah adanya penelitian hadis ini diantaranya adalah untuk dapat menjaga keautentikan hadis Nabi sehingga dapat menjadi hujah bagi kehidupan kaum muslim.

materi ini dikutip dari tongkronganislami.net

Kisah Teladan Nabi Ibrahim Ismail
Ditulis oleh Izzul Islam pada tanggal 15 June 2022

Baca juga