Makalah Perbedaan Asuransi Konvensional dan syariah


Asuransi Syariah VS Asuransi Konvensional

Bagian Pertama

Pengertian Asuransi Kenvensional

Dalam kamus Hukum kata Asuransi berasal dari Assurantie yang berarti asuransi pertanggungan.1 Sedang dalam bahasa Inggris, insurance, mempunyai makna (1) asuransi dan (2) jaminan.2 Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah Verzekering yang artinya pertanggungan.3

Asuransi adalah perjanjian antara kedua belah pihak, yang satu membayar dan yang satu akan memberikan dana bantuan apabila terjadi sesuatu dikemudian hari (seperti kecelakaan, kebakaran, kematian dan sebagainya).4

Mengenai definisi Asuransi secara baku dapat diketahui dari peraturan (perundang – undangan) dan beberapa buku yang berkaitan dengan asuransi, seperti yang tertulis dibawah ini:

Dalam ketentuan pasal I Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, didefinisikan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.5

Sedang menurut KUHD Pasal 246 memberikan pengertian bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikat diri kepada seorang tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya yang mungkin akan diderita nya karena suatu peristiwa yang tak tentu.6

Muhammad Muslehuddin mendefinisikan asuransi sebagai suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang bisa tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang diantara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok.7

Asuransi dalam pandangan Abbas Salim dipahami sebagai suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil ( sedikit ) yang sudah pasti sebagai pengganti ( substitusi ) kerugian-kerugian yang besar yang belum pasti8 Menurut Wirdjono Prodjodikoro, memaknai bahwa dalam asuransi terlibat dua pihak; yang satu sanggup akan menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin ia akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin ia akan menderita sebagai akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.9

Dasar Hukum Asuransi Konvensional

Mengenai hukum asuransi sudah di kodifikasikan 4000 tahun yang lalu di Babylonia, yaitu Code Hammurabi yang memuat beberapa ketetapan termasuk bidang asuransi. Contoh, pasal 23 dari kode tersebut menyatakan:

“Jika perampok belum tertangkap, orang yang dirugikan dapat mengadukan apa-apa kerugian nya, dan kota dan Gubernur dimana perampokan itu terjadi akan mengembalikan kepadanya apapun barangnya yang telah hilang.”

Sekarang ini peraturan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan perasuransian dapat ditemukan di berbagai sumber, baik yang ada di dalam kodifikasi, maupun yang diluar kodifikasi.

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Ketentuan mengenai kegiatan asuransi dalam KUH Perdata, diatur dalam bab kelima belas tentang Perjanjian Untung – untungan, pada bagian ke satu tentang ketentuan umum, yaitu pada pasal 1774 KUH Perdata.

b. Kitab Undang-undang Hukum Dagang

Dalam KUHD terdapat dalam bab kesembilan tentang Asuransi atau Pertanggungan umumnya yaitu pasal 246.

c. Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Terdapat dalam pasal I Undang-undang No. 2 tahun 1992.

d. Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 1999 tentang Perubahan atas peraturan pemerintah No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.10

Prinsip Dasar Asuransi Konvensional

Industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa memiliki prinsip – prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian dimanapun berada.

a. Insurable Interest

Kepentingan yang dapat dipertanggungjawabkan atau diasumsikan secara luas dapat dikatakan bahwa seseorang yang mempunyai hak berarti mempunyai kepentingan terlaksananya hak itu yang juga berarti pemenuhan kewajiban yang dibebankan kepada pihak lain.11 Karena dalam asuransi harta hokum mengharuskan adanya suatu kepentingan yang dapat dipertanggungkan, sehingga polis asuransi bukan mendapatkan alat perjudian untuk mencari keuntungan dengan jalan sengaja menghancurkan harta orang lain.12

Dalam pandangan Muhammad Muslehuddin kepentingan yang dipertanggungkan adalah kepentingan yang menurut peraturan yang wajib dimiliki oleh seseorang agar ia dapat mengadakan asuransi secara valid.13

Kita dikatakan memiliki kepentingan atas obyek yang di suransi kan apabila kita menderita kerugian keuangan seandainya terjadi musibah yang menentukan kerugian atau kerusakan atas obyek tersebut kepentingan keuangan ini memungkinkan kita mengasuransikan harta benda atau kepentingan kita. Apabila terjadi musibah atas obyek yang di asuransi kan dan terbukti bahwa kita tidak memiliki kepentingan keuangan atas obyek tersebut, maka kita tidak berhak menerima ganti rugi.14 Sebagai contoh, A tidak mempunyai kepentingan yang dapat dipertanggungkan atas rumah untuk B, maka A tidak dibolehkan menagih polis kebenaran atas rumah B.

b. Utmost Good Faith

Utmost Good Faith dalam bahasa Indonesia “I’tikat baik” yaitu suatu kewajiban yang positif dari tertanggung yang dengan sukarela menyampaikan seluruh fakta yang sifatnya material (penting) secara lengkap dan akurat atas suatu risiko yang dating dimintakan untuk di asuransi kan baik diminta oleh underwriter maupun tidak.15

Kewajiban untuk menyampaikan seluruh fakta-fakta penting tersebut berlaku:

Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai di buat, yaitu pada saat kami menyetujui kontrak tersebut.
Pada saat perpanjangan kontrak asuransi
Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan perusahaan-perusahaan itu.16

Hasan Ali mengutip dari bukunya Herman Darwami yang berjudul Manajemen asuransi kebakaran untuk rumahnya pada waktu sedang terjadi kebakaran di rumah yang berdekatan dengan rumahnya, yang ketika itu ia tidak memberitahukan hal kebakaran tersebut maka berarti ia menyembunyikan fakta pokok resiko.17

c. Idemnity (Idemnitas)

Tujuan orang mengasuransikan adalah untuk mendapatkan ganti kerugian apabila terjadi kerusakan atas barang – barang yang diasuransikan. Ganti kerugian ini pada dasarnya setinggi – tingginya adalah sebesar kerugian yang sungguh – sungguh diderita oleh tertanggung.18

Contoh: Harga pasar kendaraan sebesar 100 juta rupiah, diasuransikan sebesar 100 juta rupiah. Bila terjadi musibah sehingga kendaraan tersebut:

  1. Hilang, dan harga pasar kendaraan saat itu:

100 juta rupiah, maka anda menerima ganti sebesar 100 juta rupiah.
125 juta rupiah, maka anda menerima ganti rugi sebesar nilai yang diasuransikan, yaitu 100 juta rupiah.
75 juta rupiah, maka anda menerima ganti rugi sebesar harga pasar, yaitu 75 juta rupiah.

  1. Rusak akibat kecelakaan, maka biaya perbaikan, penggantian suku cadang, ongkos kerja bengkel seluruhnya akan menjadi tanggung jawab perusahaan sehingga maksimum sebesar 100 juta rupiah.

Beberapa cara pembayaran ganti rugi yang berlaku:

Pembayaran dengan uang tunai atau
Perbaikan, atau
Penggantian, atau
Pemulihan kembali 

d. Su brogation (Subrogasi)

Yaitu hubungan tuntutan kepada pihak ketiga berpindah di tertanggung kepada penanggung dengan di selesaikan nya klaim tertanggung oleh penanggung. Sebagaimana kita ketahui, untuk pengiriman barang yang diasuransikan, ada banyak pihak yang bisa turut bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, seperti: pihak pengangkut, pihak gudang ekspedisi dan pihak asuransi. 

Adapun pihak asuransi telah membayar ganti kerugian kepada tertanggung atas kerusakan barangnya dengan kerusakan barang termasuk secara otomatis akan berpulang kepada pihak asuransi (penanggung) sesuaidengan prinsip subrogasi.19

Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang berbunyi: “Apabila seorang penanggung telah membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian pada tertanggung”.

Dengan kata lain, apabila peserta mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga maka perusahaan, setelah memberikan ganti rugi kepada peserta, akan menggantikan peserta dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut.

e. Contribution (Kontribusi)

Tertanggung dapat saja mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa perusahaan asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas obyek yang diasuransikan maka secara otomatis berlaku prinsip kontribusi.

Prinsip kontribusi berarti bahwa apabila perusahaan telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak peserta, maka perusahaan berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu pertangunggungan (secara bersama-sama menutup asuransi harta benda milik peserta) untuk membayar bagian kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya.

Contoh: Peserta mengasuransikan satu unit bangunan rumah tinggal seharga 100 juta rupiah kepada tiga perusahaan asuransi: 

PT. Asuransi A = Rp. 100.000.000,00 PT. 

PT. Asuransi B = Rp. 50.000.000,00 PT. 

PT. Asuransi C = Rp. 50.000.000,00 

Total = Rp. 200.000.000,00 

Bila bangunan tersebut terbakar habis (mengalami kerugian total) maka maksimum ganti rugi yang peserta peroleh dari: 

PT. Asuransi A = Rp. (100.000.000,00/200.000.000,00)x100.000.000 = Rp. 50.000.000,00 

PT. Asuransi B = Rp. (50.000.000,00/200.000.000,00)x100.000.000= Rp. 25.000.000,00

PT. Asuransi C = Rp. (50.000.000,00/200.000.000,00)x100.000.000= Rp. 25.000.000,00

Total = Rp. 100.000.000,00

Berarti jumlah ganti rugi yang peserta terima dari ke-3 perusahaan asuransi bukanlah Rp. 200.000.000,00 melainkan Rp. 100.000.000,00 sesuai dengan harga rumah sebenarnya.

f. Proximate Cause

Proximate Cause berarti penyebab aktif efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa yang membawa akibat, tanpa adanya intervensi dari suatu kekuatan apapun yang timbul dan bekerja secara aktif dari suatu sumber yang baru dan berdiri.20

Bagian Kedua:

Pengertian Asuransi Syari’ah

Dalam bahasa Arab, asuransi menggunakan kata “Ta’min”, “penanggung” disebut juga dengan muammin, dan “tertanggung” disebut juga dengan musta’min.21 Sedang dalam kamus istilah fiqh, asuransi dikatakan sebagai suatu persetujuan penjamin. 

Di sini pihak penjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi (semacam pembayaran baik secara langsung maupun secara berkala) sebagai santunan atas kerugian yang mungkin akan diderita oleh pihak yang dijamin, sebagai akibat suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.22

Menurut Husein Hamid Hasan dalam kitab Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Uqud al-Ta’min yang dinukil oleh AM Ali Hasan Ali menyebutkan bahwa definisi “at-ta’min” sebagai berikut:

Artinya: “akad yang mengharuskan muammin (perusahaan asuransi) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu baik berbentuk imbalan atau gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad sebagai imbalan uang yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien atau dari nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya”

Searti dengan “ta’min” adalah lafadz “Takaful”, jadi Asuransi Takaful pengertiannya adalah pertanggungan yang berbentuk tolong- menolong, atau disebut dengan “perbuatan kafal” yaitu perbuatan saling tolong menolong dalam menghadapi suatu resiko yang tidak diperkirakan sebelumnya.24

Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu baik berbentuk imbalan atau gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi) sebagai imbalan uang yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien atau dari nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya.25

Dasar Hukum Asuransi Syari’ah

Dasar hukum asuransi syari’ah adalah sumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syari’ah. Karena sejak awal asuransi syari’ah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran islam, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul/ Hadits.25

  1. Al Qur’an.

Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktik asuransi seperti sekarang ini. Hal ini terindikasi tidak adanya istilah Ta’min dalam Al Qur’an. Akan tetapi ada beberapa aayat Al Qur’an yang mempunyai muatan dasar praktik asuransi, yaitu nilai dasar tolong – menolong, kerja sama atau proteksi terhadap peristiwa kerugian dimasa datang.26

Diantara ayat–ayat Al Qur’an yang mempunyai muatan nilai–nilai yang ada dalam praktik asuransi adalah: 

a) Surah Al-Maidah ayat 2. Artinya : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertawakallah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat besar siksanya”.26

b) Surat Al-Baqarah ayat 185 Artinya: “…Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan bagimu….”27

  1. Sunnah Rasul atau Hadits

Hadits tentang Aqilah, Artinya: “Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. di berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehinga mengakibatkan kematian wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki- laki)”. (H.R. Bukhari)

Hadits tentang mengindari risiko, Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Amlik r.a. bertanya seseorang keapda Rasulullah tentang (untanya): “Apa (unta) ini saya ikut saja atau langsung saya bertawakal pada (Allah SWT)?” Bersabda Rasulullah SAW: Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakallah kepada Allah SWT”

Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi syari’ah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Asuransi Syari’ah. Adapun peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah dengan asuransi syari’ah yaitu:

  1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Reasuransi.

  2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

  3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/LK/2000 tentang Jenis Penilaian dan Pembatasan Investor Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syari’ah.30

Prinsip Dasar Asuransi Syari’ah

Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syari’ah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomi Islami secara komprehensif. Begitu juga dengan asuransi, harus dibangun di atas pondasi dan prinsip dasar yang kuat serta kokoh.

a. Ke-Esaan (Tauhid)

Prinsip ke-Esaan (tauhid) adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ke-Tuhanan. Kalau pemahaman semacam ini terbentuk dalam setiap “pemain” yang terlibat dalam perusahaan asuransi maka pada tahap awal masalah yang sangat urgensi telah terlalui dan dapat melangsungkan perjalanan bermuamalah seterusnya.31

b. Keadilan (Al-‘adl)

Prinsip kedua dalam bermuamalah adalah keadilan, begitu juga dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan (justice), dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hal dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi.32

Sikap adil dibutuhkan ketika menentukan nisbah mudharabah, musyarakah, wakalah, wadi’ah, dan sebagainya dalam bank syari’ah. Sikap adil juga diperlukan ketika asuransi syari’ah menentukan bagi hasil dalam surplus underwriting penentuan bunga teknik (bunga teknik tidak ada dalam asuransi syari’ah), dan bagi hasil investasi antara perusahaan dan peserta. Karena itulah transparansi dalam perbankan dan asuransi syari’ah menjadi sangat penting.33

c. Kedzaliman (Adz-Dzulm)

Pelanggaran terhadap kedzaliman merupakan salah satu dasar dalam bermuamalah. Karena itu Islam sangat ketat dalam memberikan perhatian terhadap pelanggaran kedzaliman.

Dalam praktek bisnis, proses saling menzdalimi mungkin dapat terjadi dalam 3 (tiga hal) sebagai berikut:

Dalam hubungan dengan nasabah: Nasabah akan terdzalimi apabila ada hak-haknya yang dikebiri. Mungkin ini disebabkan ketidaktahuan atau tidak adanya transparansi dari suatu perusahaan
Dalam hubungan dengan karyawan: Kita diharuskan untuk segera memberikan upah buruh setelah selesai bekerja jika ia meminta. Wajib bagi perusahaan untuk memikirkan kebutuhan bagi perusahaan sesuai tenaga dan pikiran yang diberikan.
Dalam hubungan dengan pemilik modal (investor): Investor menanamkan modal ke suatu perusahaan tentunya karena ingin memperoleh keuntungan yang baik dan halal dari bisnis tersebut. Oleh karenanya, pengurus dalam perusahaan adalah pemegang amanah yang benar-benar harus dipercaya. Pendzaliman terhadap investor terjadi bila pengurus (direksi) suatu perusahaan tidak amanah menjalankan perusahaan.34

d. Tolong-menolong (at-Ta’awun)

Saling tolong-menolong atau saling membantu berarti diantara peserta asuransi syari’ah yang satu dengan yang lainnya saling bekerja sama dan memperingan penderitaan memenuhi berbagai kebutuhan dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena musibah yang diderita.35

e. Kerjasama (Musyarakah)

Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Kerja sama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat, yaitu anggota (nasabah) dan perusahaan asuransi.36

f. Amanah (al-Amanah)

Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Prinsip amanah juga harus berlaku pada seorang nasabah, seseorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi kerugian (peril) yang menimpa dirinya.37

g. Kerelaan (al-Ridha)

Pentingnya prinsip ridha dalam muamalah karena tanpa dilandasi dengan keridhaan, maka seluruh akad dalam muamalah menjadi batal. Dengan demikian, kedudukan prinsip keridhaan sangat fatal dalam akad-akad yang dibuat dalam muamalah yang dilandasi hukum syari’ah.38

h. Larangan Ghahar

Dalam setiap transaksi, seseorang muslim dilarang memperkaya diri dengan cara yang tidak dibenarkan.39 Unsur gharar dalam asuransi konvensional tercermin dalam bentuk akad dalam asuransi konvensional dapat dikategorikan sebagai akad tabaddullli atau akad pertukaran yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi. 

Dalam akad ini ada kepastian tentang berapa jumlah klaim yang akan diterima, tetapi ada ketidak pastian tentang berapa jumlah premi yang harus disetor. Untuk menghindari akad seperti ini, maka dalam asuransi syari’ah digunakan akad takaful, dimana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu degan yang lainnya.

Unsur maisir dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak mendapat apa-apa termasuk premi yang disetor nya. Sedangkan keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota (jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar.

Dalam konsep syari’ah, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan ke dalam dana tabarru’.

Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan usaha dalam investasi dimana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep syari’ah dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.

Catatan Kaki

1 Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Renika Cipta, cet. Ke-1, 1992, hlm. 38.

2 Jhon M. Echols dan Hassan Syadilly, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. Ke-XX, 1992, hlm. 326.

3 Wirjono Prodjokoro, Hukum Asuransi si Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1987, hlm. 1.

4 Sulchan Yasin, Kamus Lengkap Bahsa Indoesia (KBI), Surabaya: Amanah, 1997, hlm. 42.

5 K. Wentjik Saleh, Kitab Udang-undang Republik Indonesia 1992, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet. Ke-1, 1993, hlm. 59.

6 Niniek Suparmi, Kitab Undansg-undang Hukum Dagang dan Kepailitan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, cet. Ke-IV, hlm. 80.

7 Muhammad Muslehuddin, Insurance and Islamic Law, Terj. Burhan Wirasubrata,, “Menggugat Asuransi Modern; Mengajukan suatu Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam”, Jakarta: Lentera, cet. ke-1, 1999, hlm. 3.

8 Abbas Salim, Dasar-dasar Ausransi, Jakarta: RajaGrafindo, cet. Ke-3, 1993, hlm. 1.

9 Wirdjono Prodjodikoro, op. cit., hlm. 1

10 Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Hukum dalamPerbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Jakarta: Kencana, cet. Ke-1, 2000, hlm. 179-182.

11 A. Hasyim Ali, Pengatar Asuransi, Jakarta: Bumi Aksara, cet. Ke-1, 1993, hlm. 85.

12 Ibid, hlm. 86.

13 Muhammad Muslehuddin, op.cit., hlm. 45.

14 http.//www.aca.co.id/sppa/html

15 Hadi Setia tunggal, Dasar-dasar Asuransi, Jakarta: Harvarin, 2005, hlm. 46-47.

16 http.//www.aca.co.id/sppa/html

17 A.M. Hasan Ali, Asuransi dalam Perspeltif Hukum Islam, Jakarta: Kencana, cet. Ke-1, hlm. 9.

18 Ferdinand Silalahi, Manajemen Resiko dan Asuransi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 30.

19 Ferdinand Silalahi, op. Cit., hlm. 40.

20 Hadi Setia Tunggal, op.cit., hlm. 65.

21 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, Bandung: Mizan, cet. Ke-3, 1995, hlm. 27.

22 M. Abdul Mujieb, et al., Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 27.

23 A.M. Hasan Ali, op. cit., hlm. 63.

24 Chairun Pasaribu, Suhrawardi K Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, cet. Ke-2, 1996, hlm. 94.

25 AM. Hasan Ali, hlm.104.

26 ibid, hlm. 105.

26 Departemen Agama RI, Al Qur’an Al Karim dan terjemahnya, Semarang: CV Toha Putra, 1996, hlm. 85.

27 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Solo: Pustaka Mantiq, 1997, hlm. 45.

28 Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Maughyiroh Baradzabah Al-bukhari al-Ja’fi, Shahihul Bukhari, Beirut Libanon: Daru al-Kitab Al-Ilmiyah, tt, hlm. 668.

29 Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan At-Turmudzi, Beirut Libanon, Daru Al- Kitab al-Ilmiyah, hlm. 34.

30 Gemala Dewi, op.cit., hlm. 128-129.

31 A.M. Hasan Ali, op.cit., hlm. 125-126.

32 Ibid. Hlm. 127.

33 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari’ah (Life and General); Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani, 2004, cet. Ke-1, hlm. 728-729.

34 Ibid, hlm. 732-734.

35 H. A. Djazuli dan Yadi Januari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-1, 2002, hlm. 132.

36 A. M. Hasan Ali, op.cit., hlm. 241.

37 Ibid, hlm. 130.

38 Muhammad Syakir Sula, op.cit., hlm. 241.

39 Gemala Dewi, op.cit., hlm. 135-136.

Demikianlah artikel 3 Perbedaan Pokok Asuransi Syariah dan Konvensional. Terima Kasih atas kunjungannya.

sumber : tongkronganislami.net

Bacaan Lengkap Dzikir dan Doa Setelah Shalat Fardhu
Ditulis oleh Izzul Islam pada tanggal 5 May 2022

Baca juga